Rabu, 21 September 2011

Halal bi Halal dan Sejarahnya

Halal bi Halal dan Sejarahnya
PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”
Penulis menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri
Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia . Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.

selengkapnya

Senin, 05 September 2011

Hari Raya Ketupat Tradisi Jawa


FILOSOFI KUPAT-LEPET
Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari raya ‘pamungkas’ dari serangkaian Idul Fitri. Hari raya ketupat inilah yang – sesungguhnya – disebut lebaran (dari bahasa Jawa “lebar”, artinya rampung, tuntas, selesai dan terbebas). Orang Jawa menyebutnya “riyoyo kupat”. Riyoyo kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah puasa 6 hari Syawal yang berakhir tanggal 7 jika dilakukan langsung-tunai dari tanggal 2 Syawal, maka tanggal 8 adalah lebaran ketupat. Menilik asal muasal dari tradisi Jawa asli ini, maka sesungguhnya riyoyo kupat adalah hari raya bagi orang yang melakukan puasa sunnah 6 hari Syawal. Namun dalam prakteknya tidak demikian, selamatan dengan menu utama ketupat disajikan tidak melulu pada tanggal 8 Syawal dan tidak hanya dirayakan oleh yang berpuasa sunnah saja. Terjadi pergeseran nilai dan tujuan dari awal ‘tasyri’nya’. Tidak masalah dan tidak ada salahnya kapanpun orang berselamatan dengan ketupat atau bukan, sedekah yang ikhlas dan baik tetap bernilai pahala.
Tradisi riyoyo kupat, sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Tidak akan ditemukan di belahan benua lain manapun. Demikian pula referensi tentang riyoyo kupat ini sulit dicari di buku-buku. Filosofi kupat-lepet bersumber dari kalangan Islam Jawa kuno yang dituturkan secara turun temurun dari kearifan para pinisepuh jaman dulu dalam menanamkan nilai-nilai luhur ke-Islam-an dengan paduan kehalusan budaya jawa dalam bermetafora.
Lebaran, sebagaimana disebut di awal tulisan, berasal dari kata lebar dengan arti sudah rampung dari puasa 6 hari Syawal dan sudah selesai bersilaturrahmi dengan sanak kerabat, handai tolan dll. Sebagai ungkapan syukur dan harapan terkabulnya segala amal ibadah, maka diadakan selamatan dengan menu utama kupat dan lepet. Kupat adalah beras yang ditanak dalam bungkus anyaman daun kelapa muda yang di sebut janur. Dipilihnya janur sebagai bungkus semata-mata sebagi tafa’ul (harapan terjadinya sesuatu dengan penyimbolan tertentu) agar diberi penerangan cahaya. Janur diarabkan menjadi ja’a nur (telah datang cahaya).
Kupat merupakan akronim Jawa dari ngaku lepat (mengakui kekhilafan, kesalahan atau kekeliruan). Sebagaimana kita maklumi bersama di pengajian-pengajian, mengakui kesalahan merupakan dasar pokok dari taubat disamping meminta maaf dan menyesali perbuatan. Dengan kupat, diharapkan akan enteng dan mudah bagi kita untuk menyerap pelajaran mengakui kesalahan kita tanpa diribetkan oleh status ke-AKU-an yang merupakan pangkal dari egoisme-kesombongan dan keangkuhan.
Ketupat kemudian dipasangkan dengan lepet sebagai pelengkap. Lepet diartikan lekat (lengket), dimaksudkan sebagai penyadaran bahwa manusia memang tidak terlepas dari kesalahan. “Kullu bany Adam khattho’un wa khoyr al-khottho’in al-tawwabun” (semua anak turun Adam [berpotensi] melakukakan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertobat). Lepet dari bahan beras ketan dibungkus janur juga, dicampur dengan sedikit biji kacang panjang kering. Biji kacang yang hitam begitu mencolok dalam lepet dari beras ketan yang putih. Demikian dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ‘meneropong’ kesalahan orang lain. Dan, umumnya, kesalahan sulit dimaklumi diantara sekian banyak kebenaran dan kebaikan. Dengan lepet ini diharapkan tumbuh sifat arif, dengan memaklumi kesalahan yang terjadi di tengah-tengah pergaulan bermasyarakat. Fitrah manusia itu cenderung pada yang baik dan yang benar. Hanya saja, entah karena apa, bisa saja terjadi kesalahan dan itu menjadi sebuah catatan khusus tak terlupakan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kebaikan dan kebenaran yang sebenarnya jauh lebih dominan ketimbang kesalahan yang diperbuat seseorang.
Dengan saling menyadari kesalahan, saling memaklumi dan saling memaafkan, langkah-langkah ke depan menjadi lebih terarah oleh penerangan cahaya dan hidup menjadi damai dalam kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi inti dari disyariatkannya shalat berjamaah, haji dan jamaah-jamaah lainnya. Karena hanya dengan kebersamaan, cita-cita besar dapat diwujudkan. Dengan semangat kebersamaan, misalnya, kita berharap krisis finansial yang terjadi di Indonesia, akan dapat teratasi dengan baik. Duka nestapa, malapetaka, bencana dan musibah-musibah lainnya menjadi ringan bila ditanggung bersama-sama.
selengkapnya

Minggu, 04 September 2011

Bada dan Hari Raya Ketupat


Mennjadi kebiasaan umat Islam Indonesia khususnya di Jawa merayakan dua kali Lebaran dalam bulan Syawal, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Lebaran ketupat adalah lebaran yang biasanya dirayakan satu minggu pasca Idul Fitri dengan menghidangkan masakan spesial lebaran berupa ketupat. Hidangan khas yang khusus hadir di tengah masyarakat ketika lebaran ini ternyata menciptakan warna tersendiri yang lekat dengan nuansa lebaran. Muncul pertanyaan, mengapa lebaran ketupat dirayakan pada hari ke tujuh pasca Idul Fitri?
Dilihat dari lacakan sejarah, tradisi lebaran ketupat diperkirakan ada sejak Islam masuk Jawa. Pelopornya adalah Sunan Kalijaga, yang pertama kali memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat. Ia membudayakan dua kali bada’ (dalam bahasa Jawa berarti hari raya), yaitu bada lebaran dan bada kupat. Bada kupat dirayakan seminggu setelah Idul Fitri. Saat itu hampir setiap rumah di Jawa terlihat menganyam ketupat dari janur (daun kelapa muda). Setelah selesai dimasak, ketupat diantar ke kerabat lebih tua sebagai lambang kebersamaan.
Ternyata tradisi lebaran ketupat ini tak hanya berkembang di Jawa atau Indonesia, tapi juga di Malaysia, Singapura dan sebagian negara-negara di Asia Tenggara dengan bermacam variasinya.
Dalam ajaran Islam sebenarnya Rasulullah tak mengajarkan tuntunan merayakan lebaran ketupat. Yang ada hanya Idul Fitri yang merupakan hari kemenangan umat Islam setelah satu bulan menunaikan ibadah puasa. Di hari itu dosa-dosa yang berkaitan dengan hubungan antar manusia akan hilang dengan saling bersilaturahmi dan bersalaman. Itulah mengapa hari raya disebut juga dengan lebaran yang berasal dari bahasa Jawa ‘lebar’ yang berarti habis. Yakni habis atau hilangnya dosa di antara manusia. Tuntunan yang diajarkan Nabi setelah Idul Fitri adalah puasa enam hari di bulan Syawal dihitung sejak satu hari setelah Idul Fitri.
Bada kupat dapat diibaratkan sebagai hari raya bagi umat Islam yang melaksanakan puasa sunah 6 hari di bulan Syawal. Bila enam hari berturut-turut dihitung sejak tanggal 2 Syawal, maka puasa berakhir pada tanggal 7 Syawal di mana esoknya adalah bada kupat. Sehingga bada ini menjadi bebungah atau hadiah kebahagiaan bagi mereka sebagaimana Idul Fitri bagi umat Islam yang berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadan.
Ajaran Sunan Kalijaga ini hampir senada dengan ajaran wayang yang ia tanamkan kepada masyarakat sebagai akulturasi budaya dan syiar agama. Wayang kini telah menjadi tradisi di masyarakat, begitu pula dalam tradisi bada kupat yang sangat lekat dengan hadirnya lebaran.
Hidangan ketupat bukan sembarang makanan yang dihidangkan saat lebaran. Ada arti penting dari hidangan ketupat. Ketupat adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari nasi yang dibungkus janur. Berbentuk belah ketupat dengan enam atau tujuh pojok yang mencerminkan berbagai kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Ketupat juga mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Ketupat mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuknya.
Janur menjadikan ketupat makanan yang istimewa karena janur memiliki makna kesucian dan kemurnian. Dalam bahasa para kyai, janur berasal dari bahasa Arab ‘Jaa’a Nur’ yang memiliki arti ‘datangnya cahaya’. Ini juga menjadi alasan para kyai menganjurkan di pesta perkawinan menggunakan janur sebagai hiasan. Bentuk ketupat pun tak sembarang kotak, tapi memiliki enam atau tujuh pojok yang diarti rukun iman (kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qadha’ dan qadar)
Sedangkan tujuh pojok memiliki makna tidak terbatas, di mana Allah menciptakan bumi langit dan seisinya dalam tujuh hari, menciptakan langit dengan tujuh tingkatan, dan sebagainya.
Sebagaimana pesan lain yang disampaikan Sunan Kalijaga melalui berbagai ajaran untuk menyebarkan Islam, seperti wayang, ajaran bada kupat ini juga memiliki pesan yang dalam. Lebaran tak sekadar lepas dari kewajiban berpuasa. Esensi lebaran merupakan awal dari kehidupan baru, memulai kembali lembaran kehidupan baru di kertas putih tanpa dosa. Lebaran menjadi momentum tepat untuk kembali menyambung silaturahim.
Karena sejatinya Islam mengajarkan untuk bersosial yang baik, bukan sekadar hablum minallah namun juga hablum minannas. Puasa yang telah dilaksanakan merupakan ibadah yang berorientasi pada hablum minallah, sedang silaturrahim dan saling bermaaf-maafan merupakan ajaran yang berorientasi hablum minannas. Semoga lebaran kali ini benar-benar menciptakan kemenangan umat Islam untuk kembali pada pribadi hakikinya yang fitri. Allahumma Amiin.
Wallahu a’lam bish showab

selengkapnya

Selamat Hari Raya Idul Fitri

Keluarga Pak Gundul mengucapkan

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H
Minal Aidin Wal Faizin
Mohon Maaf Lahir & Bathin
selengkapnya

Selamat Tahun Baru 2013 !!! .

 
Powered by Blogger